KARIMUN, kabarkarimun.com – Ketua KPU Karimun Eko Purwandoko menegaskan, tahapan pemilu terus berlanjut sesuai agenda. Meski terbitnya putusan PN Jakarta untuk penundaan pemilu.
“Tahapan pemilu yang sudah berjalan tetap berlanjut sesuai agenda yang sudah dibuat. Artinya tidak mungkin dihentikan,” tegas Ketua KPU Karimun, Eko Purwandoko, Sabtu (4/3/2023).
Selain itu, lanjut Eko, 18 partai politik peserta pemilu juga sudah ditetapkan. Termasuk tahapan coklit sedang berlangsung.
“Pastinya, di bulan April nanti sudah masuk pencalonan peserta pemilu legislatif,” imbuh Eko.
Mengenai putusan PN Jakarta Pusat terkait penundaan pemilu, Eko menganggap tidak sesuai dengan undang-undang, dan konstitusi.
“Kita lihat dari dasar konstitusi kita terlebih dahulu yakni Undang Undang Dasar 1945. Sesuai dengan pasal 22E ayat 1-6, hajatan pemilu itu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, dan adil setiap 5 tahun sekali. Artinya jika ditunda, itu bertentangan dengan UUD,” katanya.
Selanjutnya, dalam undang-undang nomor 7 tahun 2017 disebutkan, berkaitan dengan sengketa proses terhdap tahapan pemilu, hal tersebut harusnya bermuara di Bawaslu.
“Tentang sengketa proses pemilu, itu muara awalnya di Bawaslu. Jika di bawaslu tidak putus, dilanjutkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, bukan di pengadilan umum,” lanjutnya.
Pandangan serupa juga disampaikan pakar hukum Edwar Kelvin Rambe.
Advokat sekaligus penyandang gelar Doktor Hukum predikat summa cumlaude di Universitas Islam Sultan Agung Semarang ini menilai, putusan yang dikeluarkan oleh PN Jakarta sangat berisiko, dan berbahaya.
“Putusan PN Jakarta tersebut berbahaya bagi dunia hukum serta sangat tidak profesional. Harusnya pengadilan menolak perkara tersebut karena tidak memiliki kewenangan mengadili,” tegasnya.
Bahkan menurutnya, Mahkmah Agung sebagai pengawal konstitusi saja tidak memiliki wewenang memutuskan suatu perkara yang menyangkut open legal policy.
“Open legal policy itu maksudnya kebijakan hukum terbuka yang merupkan kewenangan pembentuk undang-undang, nah mahkamah agung saja tidak punya wewenang untuk memutuskan penundaan pemilu sampai adanya amandemen UUD yang dilakukan MPR,” sambungnya.
Ia menegaskan, pranata hukum perdata yang notabanenya hukum privat, tidak bisa sewenang-wenang merubah kebijakan hukum publik.
“Apabila putusan tersebut diaminan, maka tidak menutup kemungkinan adanya putusan akrobat lainnya semisal membubarkan partai politik yang merupakan wewenang MK,” tutupnya. (nku)